Catatan Ummu Ghifari

Selasa, 24 Juli 2018

Kangen yang membuncah..

Dia yang biasa sulit dibangunkan manakala waktu sekolah tiba, pagi itu tampak bergegas menuju ruangan kelasnya. Dengan setelan hem putih dan pantalon warna gelap, sepatu pantopel, serta peci hitam di kepalanya ia tampak tekun mengikuti pelajaran pertamanya.

Bangga dan sedih bercampur aduk melihat aktivitasnya pagi itu. Naluri seorang ibu yang selalu ingin berdekatan dengan sang anak benar-benar diuji.

Perpisahan dengan anak lelaki pertama sudah tidak bisa dielakkan lagi.

Pada saat jauh itulah baru kita sadar bahwa banyak tambatan di hati kita.
Ibarat lidah. Kita baru sadar punya lidah, disaat lidah kita sariawan.
Jauh itu sesungguhnya dekat. Bahkan tak berjarak, karena sesungguhnya ia selalu ada di hati kita, Buktinya adalah kita punya yg namanya rasa kangen

Jaga Lidah dan Hati


"Lidah itu lebih tajam dari pedang, bahkan pedang tertajam di dunia sekalipun karena lidah dapat melukai hati tanpa menyentuhnya…”

Sungguh betapa sakit dan perihnya hati kita saat tergores oleh tajamnya lidah.
Karena ujung lidah itu tak bertuan, bahkan lebih tajam dari ujung tombak. Sehingga luka akibat lidah lebih sulit untuk disembuhkan daripada luka akibat tombak.

Karena itu jagalah lidah kita dan berhati-hatilah dengannya. Ketahuilah selagi kita belum meluncurkan anak panah dari busur lidah, maka kita akan bisa menjaga dan mengendalikannya. .
Tetapi apabila sudah dilepaskan ,maka sekali-kali kita tidak akan bisa menjaga dan mengendalikannya.

~Keep cool and stay calm

Melepas sang mujahid pertama di pondok

Perpisahan dengan anak lelaki pertama itu seperti hilangnya separuh nyawa

Saya bisikkan di telinganya bahwa cinta kasih kepadanya jauh melebihi segala-galanya.

Semoga kelak linangan air mata ini bisa bertukar dengan senyuman bangga.
Lebih baik menangis sekarang daripada menangis menyesal kemudian

Tapi para ibu, ingatlah bahwa dulu ibundanya Imam Syafi'i pun merasakan hal yang sama. Hanya saja yang dilakukan beliau adalah bersabar demi ilmu din yang akan dituntut putranya.
Di malam sebelum Imam Syafi'i pergi untuk menuntut ilmu, sang ibu berdo'a dalam keheningan,

“Ya Allah, Rabb yang menguasai seluruh alam. Anakkku ini akan meninggalkanku untuk perjalanan jauh demi mencari ridha-Mu. Aku rela melepasnya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Maka hamba memohon kepadaMu ya Allah... mudahkanlah urusannya. Lindungilah ia, panjangkanlah umurnya agar aku bisa melihatnya nanti ketika ia pulang dengan dada yang penuh dengan ilmu-Mu.”

Beliau khusyu' mendoakan Imam Syafi'i hingga meneteskan air mata.

Dan tatkala Imam Syafi'i hendak pergi ke Madinah (kota yang akan menjadi tujuannya menuntut ilmu), sang Ibu melepasnya dengan motivasi dan harapan, beliau meyakinkan putranya bahwa Allah akan memberinya kemudahan.

“Pergilah anakku,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca,

“Allah bersamamu. Insya Allah engkau akan menjadi bintang paling gemerlap di kemudian hari. Pergilah... ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah adalah sebaik-baik penolong”.